ARPILLERA
Sebuah Seni Perca Untuk Perubahan
Jarum jahit, jarum pentul, benang sulam, kain perca
dan kain dasar menjadi rangkaian bahan pembuatan Arpillera. Dalam proses pembuatannya, biasanya kita berimajinasi
dulu, membayangkan akan membuat apa dan pesan apa yang ingin disampaikan, lewat
sebuah pola gambar yang bercerita. Bukan hanya sekedar memanfaatkan kain perca,
tapi ada suatu maksud di balik itu. Ya, sebuah seni perca untuk melakukan
perubahan.
Penulisan Arpillera
yaitu A-r-p-i-l-l-e-r-a, tapi pengucapannya menjadi ‘Arpiyera’. Arpillera adalah sarana menyampaikan
pesan, mengekspresikan suatu maksud melalui media kain perca. Arpillera umumnya melukiskan kehidupan
sehari-hari, kejadian atau peristiwa tertentu baik dari pengalaman pribadi
maupun dari orang lain. Bisa juga mengandung rekaman suatu peristiwa sejarah.
Dalam dunia aktivis, Arpillera biasa
digunakan untuk mengatasi trauma dan proses fasilitasi.
Bagaimana asal muasal
munculnya Arpillera? Arpillera berasal dari Chile, Amerika
Latin. Bermula pada tahun 1973, ketika pemerintahan yang sah presiden sosialis
Salvador Allende digulingkan oleh Augusto Pinochet melalui sebuah kudeta
militer. Ribuan aktivis pro Allende ditangkap dan sebagian besar dibunuh, juga
ribuan orang hilang. Pembunuhan dan penculikan itu dilakukan terhadap kaum
lelaki yang dicurigai sebagai pemberontak. Amnesty International di Amerika
Latin, memperkirakan sebanyak 90.000 orang hilang di masa kediktatoran Pinochet
selama 20 tahun terakhir.
Akhirnya tinggal kaum
perempuan, terutama para ibu yang merasakan dampak kehilangan suami atau anak
lelakinya. Saat mencari informasi kehilangan sanak saudaranya, mereka saling
bertemu dan bercerita satu sama lain mencurahkan isi hatinya. Pihak Gereja
Katolik mulai menyadari kegelisahan ini dan lewat Vikariat Solidaritas menjadi
wadah berkumpulnya para aktivis HAM, yang berani menyerukan pelanggaran HAM
masa kediktatoran militer.
Kaum ibu terpaksa menjadi
tulang punggung keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka mencari
nafkah dengan menjahit. Jadi mereka bisa bekerja sambil mengasuh anggota
keluarga yang masih kecil. Mereka menjahit sambil berbagi cerita dan berbagi
informasi tentang anggota keluarganya yang hilang.
Dari sinilah lahir seni sulam Arpillera.
Arti sesungguhnya Arpillera adalah ‘kain
goni’, tapi dalam proses pembuatannya menjadi kain perlawanan. Curahan hati
ibu-ibu yang dituangkan ke dalam potongan kain yang bercerita ini, kemudian
diselundupkan ke luar negeri dan akhirnya meluas ke dunia internasional. Dalam Arpillera tersebut ada gambaran tentang
bangunan yang hancur, proses penculikan yang terjadi, demo kaum ibu, juga
harapan mereka tentang perdamaian, cinta dan keadilan.
Tahun 1990, rezim diktator Pinochet runtuh. Meski pun begitu, ibu-ibu
pembuat Arpillera tetap melanjutkan
perjuangan mereka, dengan menuliskan sejarah lewat kain perca sebagai saksi
untuk generasi mendatang.
Di Indonesia, dari beberapa cerita teman-teman aktivis, Arpillera digunakan untuk melakukan pendampingan terhadap korban bencana alam Tsunami dan gempa di Aceh, korban gunung Merapi di Jogja dan korban penggusuran di Jakarta. Pengalaman saya sendiri pertama kali membuat Arpillera bercerita tentang pemisahan tempat sampah. Latar belakang saya membuat ini karena rasa keprihatinan dengan sistem pengelolaan sampah yang ada. Kalaupun ada tempat sampah, pembuangannya selalu tercampur. Jadi pesan yang ingin saya sampaikan sangat sederhana, yaitu pisahkan sampah dari awal.
Pengalaman David, salah seorang staf Kail lain lagi.
Dia pernah membuat Arpillera dengan
tema kehidupan malam di perkotaan. Yang ingin dipaparkan adalah aktivitas
manusia di malam hari, ada yang sudah tidur lelap dan di sisi lain ada yang
masih hura-hura dengan datangnya malam. Ini menjadi pengalaman belajar tentang
seni untuk menyuarakan kepedulian sosial. Walaupun pembuatan Arpilleranya belum selesai, tapi ini
menjadi pengalaman belajar, dimana dia jadi tahu tentang adanya gerakan
perubahan yang lembut namun sangat kuat.
Membuat Arpillera tidak perlu keterampilan khusus, cukup dengan hanya bisa menjahit menggunakan tusuk veston sebagai dasar ilmu menjahit dan ketrampilan memadu-padankan warna. Saya yakin, setiap orang pasti bisa membuat Arpillera. Seni perca yang bukan sekedar menggunakan perca, tapi ada maksud dan pesan yang ingin disampaikan untuk membawa perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar